Wednesday, December 13, 2006

Ancaman Lahar Gunung Merapi
JANGAN PANIK, BERTINDAKLAH SESUAI ANCAMAN

Runtuhnya kubah lava Geger Boyo pada 14 Juni 2006 menyebabkan awan panas di Sungai Gendol, sisi selatan-tenggara Gunung Merapi yang merenggut 2 korban jiwa. Peristiwa itu juga menghasilkan tumpukan 6 juta meter kubik pasir, batu dan abu. Khusus abu disebut secara khusus sebagai endapan awan panas.
Sejak itu pula, kawah G. Merapi terbuka ke arah S. Gendol. Erupsi-erupsi kawah selanjutnya selain mendatangkan ancaman awan panas, juga menambah jumlah tumpukan material di S. Gendol. Musim hujan, abu endapan awan panas akan menjadi lahar yang berpotensi mengancam aset-aset dan kehidupan masyarakat di alur S. Gendol dan S. Opak.
“Jumlah material letusan di Gendol sejak Juni 2006 sekitar 10 juta meter kubik”, ungkap Subandrio, kepala seksi G. Merapi, Balai Penelitian dan Pengembangan Teknik Kegunungapian (BPPTK), Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Departemen Pertambangan dan Energi. Ia mengungkapkan hal itu dalam pemaparannya tentang konteks ancaman pada pelatihan kesiapsiagaan berbasis masyarakat yang diselenggarakan oleh masyarakat dan PSMB UPN “Veteran” Yogyakarta di dusun Petung, desa Kepuharjo, Cangkringan, Sleman 24 Oktober 2006.
“Tidak perlu panik, tapi harus tetap waspada. Artinya, kita harus menanggapi ancaman lahar itu secara proporsional,” lanjut Subandrio mewanti-wanti. Maklum, sejak September 2006 tersiar kabar akan terjadi lahar di S. Gendol yang akan membanjiri kawasan hilir. Kabar lain bahkan menyebutkan lahar akan menerjang kota Yogyakarta.
Rumor itu boleh jadi manifes dari kesiapsiagaan yang sedang berproses menemukan bentuk konkritnya. Tanpa pemahaman konteks ancaman lahar yang empirik dan pengkajian risiko yang masuk akal, maka proses sosial kesiapsiagaan keblinger menjadi rumor meresahkan. Juga mudah dipelintir jadi pembenar tindakan antisipasi berbiaya lebih mahal dari nilai risiko potensialnya. Utang lagi. Di sinilah kesiapsiagaan jadi berlawanan dengan tujuannya, mereduksi risiko.

* * *

Dalam konteks ancaman G. Merapi, lahar adalah jenis ancaman sekunder. Ancaman primernya awan panas. Kata lahar berasal dari Indonesia dan telah jadi sebutan mendunia bagi fenomena tercampurnya abu endapan awan panas dengan air hujan.
Campuran abu dengan air membentuk cairan kental dan mengalir ke tempat lebih rendah mengikuti alur sungai. Kecepatan aliran lahar sekitar 6 meter per detik atau antara 20 hingga 30 kilometer per jam. Tergantung kemiringan dasar sungai. Makin miring, makin deras. Dalam besaran jumlah aliran, kecepatan dan lama waktu pengaliran tertentu, lahar mampu menggerus pasir, tanah dan bebatuan di dasar atau tebing sungai yang dilaluinya. Material gerusan ini yang membuat lahar menjadi berbahaya.
“Kalau yang yang mengalir masih cairan kental campuran abu dan air belum membawa material lain, itu masih lahar biasa yang tidak membahayakan,” jelas Subandrio. Jadi tidak semua material longsoran kubah lava menjadi lahar. Hanya abunya saja.
Besaran curah hujan yang bisa memicu lahar antara 40 sampai 70 milimeter selama 2 jam terus menerus. Faktor lainnya, kemiringan dasar sungai cukup terjal. “Syarat-syarat terjadinya lahar (kandungan abu, kemiringan dan potensi curah hujan) di S. Gendol terpenuhi semua,” jelas Subandrio. Tinggal menunggu datang curah hujan yang cukup, akan terjadi lahar di Gendol.
Lebih jauh tentang hujan pemicu lahar, Subandrio menjelaskan bahwa rerata curah hujan di lereng selatan G. Merapi relatif lebih tinggi dibanding di lereng barat. Dengan begitu, endapan awan panas di lereng selatan, peluangnya menjadi lahar lebih besar. Menurut data BPPTK, 60 persen kejadian lahar G. Merapi dipicu hujan yang bersifat lokal atau hujan di satu sisi lereng saja. Selebihnya dipicu oleh hujan menyeluruh di kawasan G. Merapi.
Hujan pada awal-awal musim menurut Subandrio belum akan menyebabkan lahar. Awalnya air hujan akan diserap oleh abu endapan awan panas. Selanjutnya diteruskan ke lapisan pasir dan batu dibawahnya. Ketika lapisan bawah sudah jenuh air, hujan masih terus terjadi, abu endapan awan panas ikut jenuh dan menjadi lahar. Pada curah hujan yang rendah, air hujan beperan memadatkan abu endapan awan panas dan material di bawahnya.

* * *

Sekalipun lahar mengangkut pasir dan bebatuan, tidak serta-merta menjadi bencana. Kejadian lahar di G. Merapi yang dampaknya menjadi bencana terakhir terjadi pada Nopember 1975 dan Oktober 1976. Alirannya mengarah ke S. Krasak dan S. Pabelan di sisi barat-barat daya. Kawasan ini masuk wilayah administratif kecamatan Srumbung dan Dukun, kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Ketika itu lahar menyebabkan jembatan S. Krasak mengalami kerusakan berat. Jembatan berada di jalur utama transportasi darat antara Yogyakarta dan Magelang.
Lahar tahun 1975 dan 1976 itu merupakan dampak letusan besar tahun 1961 yang menghasilkan material sekitar 42 juta meter kubik. Disusul erupsi-rupsi kecil tahun tahun 1972, 1974, dan 1975 yang kian menambah jumlah abu endapan awan panas, pasir dan batu. Sehingga menjadi lahar dalam intensitas besar.
Sejak lahar tahun 1975 dan 1976 itu, pemerintah giat membangun dam-dam pengendali lahar di alur-alur sungai yang berpotensi terjadi lahar. Pembangunan dam ini merupakan kerjasama pemerintah Indonesia dan Jepang. Dibiayai dengan dana utangan luar negeri, terutama Jepang melalui Japan International Cooperation Agency (JICA) sebuah lembaga kerjasama internasional pemerintah Jepang. Tanggungjawab pelaksanan pembangunan dam diampukan ke Proyek Merapi (PROMER) dan Sabo Technical Centre (STC) keduanya adalah badan pelaksanan kerjasama Jepang-Indonesia untuk proyek-proyek pengendalian lahar, di lingkup Direktur Jenderal Pengairan, Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah. Setelah 14 Juni 2006, PROMER dan STC melakukan pembangunan 11 dam pengendali lahar di S. Gendol dan S. Opak. Diperkirakan dam-dam itu akan selesai pada petengahan Desember 2006. Setip unit dam menelan biaya sekitar 3 milyar rupiah.
“Setelah tahun 1970-an itu lahar (dalam intensitas, sebaran, durasi dan frekuensi) yang besar tidak pernah terjadi lagi di G. Merapi. Karena memang tidak ada lagi letusan sebesar 1961,” jelas Subandrio. Tetapi ia tidak menyatakan pembangunan dam besar-besaran itu sebagai tindakan menanggapi ancaman lahar secara tidak proporsional, sebagaimana ia tegaskan di awal pemaparannya.
Yang lebih penting untuk dipahami bersama adalah fakta bahwa tidak lagi kejadian lahar yang menyebabkan korban nyawa manusia. “Sejak tahun 1970-an tidak ada korban manusia akibat lahar. Kalau sampai ada korban manusia di masa mendatang, berarti kita mengalami kemunduran,” Subandrio kembali menegaskan. Menurutnya pengalaman lahar masa lalu menjadikan semua pihak belajar dan lebih memahami karakter lahar. Disamping dukungan infrasuruktur sosial politik dan teknis yang lebih baik. Betul, mekanisme dan kinerjanya adalah soal lain lagi.
Lahar terakhir di G. Merapi yang dicontohkannya adalah lahar di S. Boyong di sisi selatan masuk kecamatan Pakem, Sleman, Yogyakarta pada 5 April 1995. Lahar di S. Boyong merupakan endapan awan panas 1994. Kedua lahar di S. Apu, di sisi barat daya di wilayah kecamatan Selo, kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Lahar di S. Apu ini merupakan material erupsi tahun 1950-an. Beberapa hari setelah lahar yang terjadi di pertengahan Agustus 204 itu, pemerintah kabupaten Boyolali menyelenggarakan lelang untuk mengeruk pasir dari yang tertampung di dam. Tidak ada korban manusia dalam kedua kejadian lahar itu. Sebaliknya, keuntungan berupa pasir dan batu untuk ditambang demi mengembalikan daya tampung dam menahan lahar selanjutnya.

* * *

Dalam sejarahnya, lahar juga pernah terjadi di S. Gendol. Menurut catatan BPPTK lahar S. Gendol terjadi tahun 1846. Menyebabkan kerusakan sekitar 50 hektar lahan pertanian. Kemudian tahun 1906, pada saat itu aktifitas G. Merapi mengarah ke selatan seperti saat ini. Terakhir terjadi tahun 1930 sampai 1932 dengan volume aliran sekitar 2,5 juta meter kubik.
Kini dengan volume material 10 juta meter kubik menurut Subandrio masih belum mengkhawatirkan. Arah dominan lahar akan ke S. Gendol yang tebingnya masih cukup curam. Dengan kata lain, S. Gendol masih menyediakan ruang yang cukup untuk menampung aliran lahar.
Subandrio juga menepis kekhawatiran terjadinya lahar di S. Opak. Menurutnya material letusan yang masuk ke S. Opak sekitar 300.000 meter kubik. BPPTK juga tidak ada catatan sejarah lahar di S. Opak, sehingga masyarakat sekitar S. Opak tidak perlu khawatir. “Lahar di S. Opak hanya akan terjadi jika lahar di Gendol terjadi dalam skala terlalu besar sehingga meluap ke S. Opak. Kemungkinan luapan ini kecil” katanya. Arah dominan lahar tetap ke S. Gendol. Tentang kemungkinan luapan ke S. Opak Subandrio merincikan hanya jika separuh material di S. Gendol ikut mengalir bersamaan, mungkin akan meluap ke S. Opak. “Kalau lahar yang terjadi di S. Gendol normal saja S. Opak aman,” lanjutnya.
Sungai Opak tidak berhulu di puncak G. Merapi. Bagian hulu sungai ini berdekatan dengan S. Gendol. Di hilir, S. Opak mengecil seukuran saluran irigasi dengan permukiman di tepi kanan kirinya.

* * *

Untuk mereduksi risiko ancaman lahar yang perlu segera dilakukan menurut Subandrio, pertama adalah pembuatan peta operasional. Peta meliputi indentifikasi potensi risiko dan jalur-jalur evakuasi di kawasan berisiko. Peta risiko tentu saja harus didasarkan pada analisis yang bisa dipertanggungjawabkan. Baik secara teknis dan sosial. Kedua, sistem peringatan dini bagi masyarakat di kawasan yang diidentifikasikan berisiko. Ketiga mendiseminasikan peta operasional dan sistem peringatan dini kepada masyarakat kawasan berisiko. Diseminasi ini bertujuan mawacanakan konteks ancaman, peta operasional sekaligus menjaring gagasan untuk perbaikan bentuk konkrit kesiapsiagaan bersama.
Sabo Technical Centre telah memasang sensor kawat untuk mendeteksi lahar di beberapa dam di S. Gendol. Sensor ini berupa bentangan kawat induktor yang terhubung ke sebuah pemancar. Kawat dibentangkan pada ketinggian tertentu. Jika tersentuh cairan lahar, kawat akan memicu pemancar dan selanjutnya pemancar mengirimkan sinyal peringatan bahaya. “Peringatan bahaya lahar dengan sensor semacam ini mungkin akan sedikit terlambat. Karena sensor baru akan memberi peringatan kalau sudah terjadi lahar” kata Subandrio.
Menurutnya, lebih baik sistem peringatan dini itu dipadukan dengan penggunaan data curah hujan dan sensor akustik pendeteksi lahar. Data curah hujan merupakan indikator awal, sederhana dan bisa dilakukan oleh masyarakat. Ia mencontohkan jika hujan telah terjadi selama 1 jam, maka masyarakat harus mulai meningkatkan kewaspadaan. Jika hujan berlanjut, mungkin sudah perlu diambil tindakan awal penyelamatan.
Sensor akustik atau AFM (accoustic flow meter/monitoring), semacam seismo meter pendeteksi getaran aliran lahar. Teknologi ini pernah digunakan di S. Boyong dan berhasil mendeteksi lahar yang terjadi pada 5 April 1995. “Berkat AFM petugas BPPTK di Kaliurang bisa memberi peringatan kepada penambang pasir di Boyong sehingga tidak ada korban manusia. Hanya truk-truk pengangkut pasir saja yang hanyut dan terbenam lumpur,” kisahnya.
Diakhir pemaparannya, Subandrio menekankan perlunya penataan ulang aktifitas wisata lava di dusun Kaliadem. Hal itu untuk mengurangi risiko jika terjadi lahar. Misalnya dengan mengatur wisata dibuka pagi hari dan ditutup pukul 12.00. Dalam catatan sejarah lahar, hampir 80 persen lahar terjadi pada sore hari karena hujan umumnya berlangsung antara pukul 12.00 hingga 19.00. “Jadi penataan ulang itu tidak akan mematikan perekonomian masyarakat tetapi jadi bukti masalah bahaya juga diperhitungkan oleh penyelenggara wisata,” Jelas Subandrio. Dusun Kaliadem permukiman tertinggi di tepi alur S. Gendol, sekitar 7 kilometer dari puncak G. Merapi. Dulunya lokasi wisata favorit setelah Kaliurang. Pada 14 Juni 2006 lokasi ini hancur diterjang awan panas dan material lava yang menyebabkan 2 korban jiwa. Aktifitas ekonomi wisata kembali aktif setelah loaksi ini dibuka sebagai wisata lava.
Selain itu ia juga menekankan perlunya simulasi bagi masyarakat dan relawan di kawasan berisiko. Dengan simulasi ini sistem peringatan dini dan peta operasional evakuasi dapat dibuktikan efektifitasnya untuk diperbaiki bersama. Dengan begitu, harapannya semua pihak menjadi lebih paham tentang mekanisme pengambilan keputusan tindakan yang sesuai konteks ancaman.
(Ipung/Nov 2006)